Siapa sih yang nggak mau travelling ke Jepang pas spring? Rasanya hampir seluruh traveller di penjuru dunia ingin sekali ke Jepang pas sakura sedang mekar-mekarnya. Nggak heran juga kenapa harga tiket pesawat dan hotel pada musim semi di Jepang jadi melonjak naik.
Awal mula kenapa bisa
sampai ada trip ke Jepang pas spring, adalah ketika gue baru saja
pulang dari trip Singapore - Malaysia pada September 2017. Di
pesawat, saat sedang melihat hasil foto-foto di kamera, gue melihat
foto kedua teman gue, Ismi dan Ulfa yang kompakan memakai baju
berwarna pink. Lalu munculah celetukan gue, “Duh, cucok kali nih ya
kalau pakai baju warna begini pas lagi spring di Jepang”. Kemudian
Ulfa yang kebetulan duduk di sebelah gue langsung berkata, “Ya udah
Jepang dulu saja deh, ma. Kayaknya kita belum sanggup kalau ke
Europe”.
Dari situ gue mulai buka
skyscanner lagi dan mengatur alarm untuk rute Jakarta – Tokyo mulai
dari Maret sampai April. Jadi misalkan ada harga yang turun, biasanya
skyscanner akan mengirimkan email pemberitahuan. Sudah dua minggu gue
set, masih belum ada tanda-tanda turun. Akhirnya gue iseng cari
secara manual lagi. Gue pilih tanggal 30 Maret sampai 16 April,
hasilnya masih mahal. Rata-rata harganya di atas 9 jutaan. Lalu cek
tanggal 10 sampai 20 April, eh ada! Gue lihat maskapai Singapore
Airlines menawarkan rute PP 5.4 juta. Sementara maskapai budget
andalan gue malah lebih mahal, yaitu di harga 6.1 juta PP.
Setelah pikir-pikir
selama beberapa hari, akhirnya gue dan teman-teman memutuskan untuk
membeli tiket tersebut. Gue sempat ragu, karena harga segitu sudah
gue abaikan selama dua hari. Mulai khawatir takut harganya sudah
melonjak naik. Gue hanya berucap dalam hati, kalau harga segitu
masih ada berarti masih jodoh. Alhamdulillah masih jodoh,
pemirsa.
Long story short,
visa sudah issued tiga minggu sebelum keberangkatan. Cara buat
visa ke Jepang juga sudah gue ceritakan di sini. Hotel dan bus
sudah di-booking semua. Menjelang keberangkatan pun kami sudah
membagi tugas perbekalan apa saja yang akan kami bawa, seperti
makanan dan obat-obatan.
Hari Keberangkatan
Tanggal 10 April 2018,
hari yang dinanti tiba juga. Ulfa berangkat dari Tasikmalaya dari
tanggal 9 April 2018 dengan naik bus malam. Ismi dan Rima sudah tiba
lebih dahulu di Soekarno Hatta International Airport terminal 2.
Gue tiba paling terakhir, untungnya perjalanan pagi itu ke bandara terbilang cepat tanpa macet. Gue naik bus damri ke bandara. Awalnya mau coba naik kereta ke bandara, tapi mengingat tempat tinggal gue lebih dekat ke terminal bus damri dan koper gue yang berukuran 29” cukup berat, akhirnya gue nggak jadi naik kereta ke bandara.
Gue tiba paling terakhir, untungnya perjalanan pagi itu ke bandara terbilang cepat tanpa macet. Gue naik bus damri ke bandara. Awalnya mau coba naik kereta ke bandara, tapi mengingat tempat tinggal gue lebih dekat ke terminal bus damri dan koper gue yang berukuran 29” cukup berat, akhirnya gue nggak jadi naik kereta ke bandara.
Pukul 8 a.m, kami sudah
check in semua bagasi di counter Singapore Airline khusus kelas
ekonomi. Maunya sih business class, namun apa daya, buat ke Jepang
ini saja mesti puasa Senin sampai Kamis, Jumat makan nasi sama kecap,
Sabtu minta ditraktir pacar, Minggu numpang makan di rumah orang tua.
Maag nggak kambuh saja sudah Alhamdulillah. #SobatMisqin
Transit Mepet di Singapura
Perjalanan dari Jakarta
ke Singapura berlangsung selama dua jam. Kami tiba di Changi
International Airport sekitar pukul 12 siang . Rencananya selama masa transit
ini, kami mau foto-foto di Sunflower Garden yang terletak di Terminal
2. Setelah shalat di mushola yang ada di sana, dengan pedenya gue
tanya ke staf bandara di mana lokasi taman yang gue maksud. Katanya
sih masih harus naik satu lantai lagi. Eh pas cek jam, ternyata kami
semua lupa kalau jam yang ada di handphone belum otomatis berubah
menjadi waktu Singapura. Jeda waktu sampai ke boarding selanjutnya
hanya tersisa setengah jam. Terulang kembali deh adegan lari-larian
ala Cinta dan Rangga di bandara. KZL. Entah kenapa tiap kali di
Changi selalu lari-larian. Cita-cita gue dari dulu yang belum
kesampaian kalau ke Changi itu cuma satu, nyobain kursi pijat gratis!
Pupus sudah harapan duduk-duduk santai di kursi pijat. Huft.
Naasnya, pesawat yang
dari Singapura menuju Tokyo itu ada di Terminal 1. Jadi masih harus
naik skytrain ke sana. Tahu sendiri lah ya seluas apa Changi
International Airport ini.
Beruntung kami semua tiba
di boarding gate lebih awal. Jadi masih bisa istirahat dulu dan
mengisi disclaimer form untuk kedatangan di Tokyo nanti. By
the way, ini pengalaman pertama gue naik maskapai non-low-cost,
jadi sepanjang perjalanan dari Singapura ke Tokyo penuh dengan
kenorakan. Ya nyobain fasilitas entertainmentnya lah, motoin
semua makanannya lah, sampai sengaja berlama-lama di lavatorynya.
Apalagi lama perjalanan dari Singapura ke Tokyo memakan waktu
kurang lebih tujuh jam. Semua film yang baru di bioskop pun gue
tontonin semua. Ada Wonder, Shape of Water, sampai serial Friends yang
season 7 gue tonton sampai tamat. T.T
Akhirnya Sampai Juga!
Ketika waktu menunjukkan
pukul 9:30 p.m, jantung gue mulai deg-degan. Bukan karena ada
kejadian nggak mengenakkan di dalam pesawat, tapi karena sang pilot
sudah memberikan pengumuman bahwa pesawat sebentar lagi akan mendarat
di Haneda International Airport. Gue yang duduk bersebelahan dengan
Ulfa langsung saling tatap-tatapan kegirangan. “Ya Allah faaaa,
akhirnya sampai jugaaaa,” kata gue pada Ulfa sesaat setelah pesawat
mendarat.
Begitu turun dari
pesawat, udara dingin langsung menyusup ke tubuh. Gue pikir karena
sudah musim semi, nggak bakal sedingin itu. Nggak tahunya, angin di
Tokyo sadis juga. Buat yang sudah lihat instastory gue selama di
Jepang pasti tahu bagaimana situasi antrian imigrasi di Haneda
International Airport. Panjang banget! Mirip kayak orang-orang yang
lagi antri di travel fair. Kalau belum nonton, silakan mampir
ke profil Instagram gue, sudah ada di highlight kok. By the way,
petugas imigrasi yang melayani gue ganteeeeng.
Setelah semuanya selesai
dengan urusan imigrasi, kami langsung menuju ke tempat pengambilan
bagasi. Kami semua sempat takut salah satu koper yang kami bawa
disita petugas. Jadi gue tuh sengaja bawa koper kecil yang isinya
semua perbekalan. Mulai dari chicken nugget, sarden, mie instan,
spaghetti, fetucini, beras 4 liter, saos sambal sachet, sambal terasi
sachet, macam-macam deh pokoknya. Kalau sampai disita, mau makan apa
coba selama di Jepang. Masa ngemut bungkus tolak angin sama obat maag
doank? Namun kekhawatiran kami nggak terjadi. Koper kami semua lolos
tanpa dilirik petugas sekali pun.
Kebingungan dari Haneda International Airport ke Penginapan
Setelah itu langsung
menuju Keikyu Line. Penginapan yang sudah gue sewa selama dua malam
di Tokyo berada dekat Itabashi Station, dengan stasiun terbesar yang
paling dekat yaitu Ikebukuro. Kalau kalian mendarat di Haneda
International Airport, ada tiga pilihan transportasi untuk menuju
pusat Kota Tokyo.
- Limousine bus, ongkosnya 1,230 JPY
- Monorail, gue kurang tahu berapa ongkosnya. Tapi stasiun pemberhentiannya jauh dari penginapan. Jadi langsung gue skip.
- Keikyu Line, ongkosnya 720 JPY sampai Itabashi Station.
Itulah mengapa gue lebih
memilih naik Keikyu Line dari Haneda International Airport ke
penginapan. Karena Keikyu Line ini memiliki tarif paling murah dari Haneda International Airport ke pusat kota Tokyo. Pembelian tiketnya ada di depan gate. Kalau bingung
bagaimana cara membeli tiket di mesin, biasanya ada petugas yang akan
membantu. Gue tinggal menyebutkan stasiun tujuan gue saja, nanti
mereka yang bantu membelikan tiket di mesin.
Lokasi gate Keikyu Line dekat dengan tourist information center. Begitu keluar customs inspection, kalian akan tiba di arrival lobby. Jalan lurus saja, nanti gate Keikyu Line ada di sebelah kanan.
Lokasi gate Keikyu Line dekat dengan tourist information center. Begitu keluar customs inspection, kalian akan tiba di arrival lobby. Jalan lurus saja, nanti gate Keikyu Line ada di sebelah kanan.
Cara memasukkan tiket ke
lubang yang ada di entrance gate pun bikin gue dan teman-teman
kelihatan ndeso. Biasanya kan kalau naik KRL, tiket tinggal
di-tap di entrance gate, lalu angkat. Sementara di Jepang itu tiketnya
dimasukkan ke dalam lubang, nanti di ujung gate, tiketnya akan
keluar lagi. Nah, kita harus buru-buru ambil tiket yang sudah muncul
di ujung. Kalau nggak, nanti tiketnya akan tertelan lagi dan mau
nggak mau petugas akan datang untuk mengambilkan tiket kita yang
tertelan, disertai dengan wajah masam.
Baru Sampai Langsung Nyasar
Jadi sebelum berangkat ke
Jepang, gue dan teman-teman sudah membuat rute perjalanan selama di
Jepang. Rutenya tuh sudah detail banget. Misalkan dari Haneda
International Airport ke Airbnb yang kami sewa itu harus naik kereta
apa, jurusan mana, turun di stasiun mana, setelah keluar stasiun
harus belok ke mana, patokannya apa, jaraknya berapa meter. Se-detail
itu kami buat rute perjalanan. Tapi begitu di TKP malah buyar. Maklum
efek kaget baru sampai Jepang jadi saking girangnya sampai nggak
kepikiran lagi buat buka file.
Berbekal google maps,
kami pun naik kereta dengan tujuan Ikebukuro. Dari Ikebukuro nanti,
harus transfer ke line Saikyo dan turun di Itabashi Station. Di
tengah perjalanan gue sempat melihat kembali arahan di google maps.
Gue dan teman-teman agak bingung membaca arahan di google maps saat
itu. Di aplikasinya terbaca seperti harus turun dulu di Shinagawa
Station lalu lanjut lagi naik yang ke Ikebukuro. Apalagi pas berhenti
di Shinagawa Station, kereta cukup lama ngetemnya. Akhirnya kami
turun dari kereta dan berganti platform yang letaknya hanya
bersebelahan.
Ternyata, seharusnya itu kami nggak perlu turun lagi di Shinagawa Station. Karena kereta yang kami naiki itu langsung menuju Ikebukuro Station. Selama perjalanan gue deg-degan banget. Takut salah turun dan nombok ongkosnya.
Begitu turun di Ikebukuro
Station, kami sempat kebingungan lagi. Gue belum tahu kalau di setiap
stasiun ada elevator. Jadi terpaksa gotong koper seberat 25kg
menuruni tangga. Saikyo line beda platform dengan kereta yang gue
naiki dari Shinagawa. Jadi harus naik tangga lagi untuk ganti line.
Sungguh perjuangan yang melelahkan di tengah malam.
Untungnya dari Ikebukuro
Station ke Itabashi Station hanya beda satu stasiun saja. Begitu
keluar di Itabashi Station, gue cukup kaget dengan kondisi
stasiunnya. Untuk ukuran Jepang, stasiun ini bole dibilang termasuk yang gembel.
Nggak sebagus stasiun-stasiun lain yang ada di Tokyo.
Nah, begitu keluar dari
Itabashi Station, sudah nggak terlalu sulit menemukan apartemen yang
kami sewa melalui Airbnb. Jaraknya cukup dekat dan situasi lingkungan
sekitarnya nyaman banget.
Tapi jangan senang
dahulu, pemirsa. Karena perjuangan buat masuk ke dalam apartemennya
juga nggak semudah itu. Setelah menemukan lokasi apartemennya, gue
agak kesulitan untuk membuka mailbox yang di dalamnya ada kunci
apartemen. Pemilik apartemen sudah mengirimkan petunjuk bagaimana
cara self-check in. Namun, sistem membuka mailboxnya nggak lazim.
Seperti membuka berangkas. Pakai kode nomer lalu diputar gitu.
Proses membuka kode
mailbox lumayan memakan waktu. Mana lingkungan di sana sepi banget
dan setahu gue memang nggak boleh bersuara keras lagi kalau sudah
malam, jadi gue dan teman-teman berasa lagi mau mengendap-endap masuk
ke rumah orang.
Setelah kunci apartemen
berhasil didapatkan, satu per satu kami menaiki anak tangga ke lantai
dua sambil membawa koper-koper kami yang beratnya bukan main. Sebagai
catatan, jika kalian mau menyewa properti di Airbnb, sebaiknya
tanyakan dulu lokasi properti yang akan kalian sewa itu ada di lantai
berapa dan apakah ada liftnya atau nggak.
Sebenarnya gue juga sudah
mengetahui tentang ini sebelum akhirnya sepakat untuk menyewa
apartemen ini, tapi karena kondisi kami yang sudah terlanjur
kelelahan setelah sembilan jam berada di pesawat, jadi konsentrasi
mulai buyar.
Begitu masuk ke dalam
apartemen, gue agak terkejut. Apartemen yang kami sewa sebenarnya
lucu sih, semua kebutuhan tersedia, seperti dapur, penghangat
ruangan, hair dryer, tapi kecil bangeeeeet. Kalau diisi empat orang,
bakal terasa banget sempitnya apartemen itu. Idealnya sih memang
lebih cocok untuk dua orang saja. Tapi berhubung di tanggal tersebut
semua hotel dan apartemen di Jepang masih mahal, akhirnya gue booking
apartemen ini saja. Harganya termasuk murah jika dibagi empat orang.
Setelah unpacking, mandi,
dan makan malam, kami segera beristirahat. Karena petualangan di
Jepang baru akan dimulai keesokan harinya. Konbawa!
Baca juga!
Japan Travel Diaries:
Day 1 ~ Day 2 ~ Day 3 ~ Day 4 ~ Day 5 ~ Day 6 ~ Day 7
Japan Travel Hack:
Cara membuat visa Jepang ~ Repot bawa koper di Jepang ~ Sewa kimono di Kyoto ~ Perlukah JR Pass? ~ Sewa WiFi di Jepang ~ Panduan membeli tiket Willer Bus ~ Rincian budget travelling ke Jepang ~ Itinerary trip ke Jepang 11 hari ~ Persiapan sebelum travelling ke Jepang ~ Ide Travel Outfit ke Jepang
Day 1 ~ Day 2 ~ Day 3 ~ Day 4 ~ Day 5 ~ Day 6 ~ Day 7
Japan Travel Hack:
Cara membuat visa Jepang ~ Repot bawa koper di Jepang ~ Sewa kimono di Kyoto ~ Perlukah JR Pass? ~ Sewa WiFi di Jepang ~ Panduan membeli tiket Willer Bus ~ Rincian budget travelling ke Jepang ~ Itinerary trip ke Jepang 11 hari ~ Persiapan sebelum travelling ke Jepang ~ Ide Travel Outfit ke Jepang
2 Comments
WAAA UDAH KE JEPAAANGGG!
ReplyDeleteApartemennya kecil tapi gue justru suka yang kecil-kecil gitu, hehe. Anaknya pecinta minimalis. Jadi penasaran gimana penampakan Stasiun Itabashi.
Masalahnya kalo badannya gede kayak gue semua jadi berasa sesak itu apartemen T.T
Delete#Cyedih
Please notice: Subscribe to my blog before you leave a comment. Any active link on comment will be automatically deleted. Thank you for reading!