Halo, Nidyholic! Apa kabar? Beberapa waktu yang lalu ada yang bertanya ke gue tentang bagaimana caranya menjadi bloger. Pertama, ya sudah pasti harus punya blog dulu donk. Bisa di blogspot seperti gue, atau bisa juga di wordpress. Setelah itu menulislah. Karena sesungguhnya blog itu hanya medianya, seperti buku, kertas, atau diary. Kalau nggak pernah menulis, lalu apa gunanya blog itu ada, ye kan?
Blog itu erat kaitannya dengan dunia literasi. Dikutip dari laman Wikipedia, Literasi adalah istilah umum yang merujuk kepada seperangkat kemampuan dan keterampilan individu dalam membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian tertentu yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Dari sekolah dasar pun kita sudah familiar dengan dunia ini. Hanya saja memang nggak semuanya paham.
Festival Literasi Sekolah 2019
Akhir pekan lalu, gue datang ke acara Festival Literasi Sekolah 2019 (FLS). Acara yang sudah digelar sebanyak tiga kali ini, berlokasi di Kemendikbud Jakarta Selatan mulai tanggal 26 – 29 Juli 2019.
Festival Literasi Sekolah merupakan kegiatan lomba yang diadakan untuk siswa-siswi SMA atau MA se-Indonesia yang memiliki minat bakat untuk mengembangkan kemampuan menulis cerpen, syair, komik, dan meme melalui pembuatan karya. Semua karya dibuat secara individu dengan mengatasnamakan sekolah tempat siswa-siswi peserta bersekolah.
Selama ini, yang gue ketahui, bahwa seni literasi hanya berupa tulisan. Ternyata pendidikan literasi itu beragam. Dalam FLS 2019 kali ini, pemerintah mengharapkan pendidikan literasi visual, digital, maupun non-digital, mampu secara efektif memberikan kontribusi dalam dasar perkembangan multi kecerdasan dalam kepribadian remaja.
Media literasi adalah wahana bagi para generasi muda untuk mencurahkan intuisi dan estetika, serta gagasan dan imajinasi. Ya daripada terjerumus ke dalam hal-hal yang negatif, lebih baik disalurkan ke media yang tepat.
Festival Literasi 2019 kali ini mengusung tema “Indonesia Romantis”, dengan tujuan mengajak para remaja untuk mengungkapkan cinta dengan cara masing-masing kepada orangtua, guru, sahabat, maupun Indonesia.
Talkshow di Panggung Utama
Dalam pergelarannya selama empat hari pada akhir pekan lalu, gue berkesempatan datang pada tanggal 28 Juli 2019. Siang itu di panggung utama sedang ada talkshow yang materinya diisi oleh Brigjen. Pol. Dr. Chryshnanda Dwilaksana, M.Si, SN. Prana Putra Sohe (Walikota Lubuk Linggau), dan Akhiruddin Haer (Yayasan Masyarakat SM-3T Institute).
Antusias para penonton yang menghadiri talkshow ini masih tinggi. Terlihat dari penuhnya bangku-bangku penonton yang sudah memadati area panggung meskipun acara baru mau dimulai dan sudah memasuki sesi dua di hari itu.
Materi yang dibahas cukup menarik, yaitu berisi mengenai menciptakaan sekolah holistik (aman, ramah anak, ramah disabilitas, berwawasan gender, tertib berlalu lintas, berkearifan lokal, dll.
Dalam sehari ada tiga jadwal talkshow dengan pembicara yang tentunya berbeda-beda. Bahkan di hari kedua, pembicaranya ada Najwa Sihab dan Trinity (The Naked Traveler).
Mengunjungi Booth Peserta
Sebenarnya nggak hanya peserta lomba FLS saja yang berpartisipasi, ada juga partisipan yang turut mendukung seperti dari komunitas literasi dan lembaga pemerintahan.
Dari sekian banyak booth, ada satu yang menarik perhatian. Di atas meja ada jejeran botol madu dengan warna dan tekstur berbeda-beda. Gue disambut oleh senang perempuan yang ramah.
"Ini apa, bu? Madu?" tanya gue pada perempuan itu. "Betul, mbak. Kita punya alat pendeteksi madu murni, lho," jawabnya. "Gimana caranya?" tanya gue penasaran.
Alih-alih menjawab pertanyaan gue. Perempuan tersebut malah memanggil seorang anak perempuan yang sedang menyantap nasi bungkus bersama teman-temannya.
"Ini lho mba, yang buat alatnya. Masih kelas,"kata si Ibu setelah berhasil manggil anak tersebut. Jujur saja gue cukup terkejut hampir nggak percaya bahwa anak SMP sudah bisa menciptakan sebuat alat yang sangat bermanfaat.
Gue pun nggak sabar bertanya pada Nacita, anak perempuan yang berhasil membuat alat pendeteksi madu murni tersebut. Ia tampak antusias sekali menjelaskan alasannya mengapa sampai kepikiran membuat alat seperti itu.
Menurut Nacita, masih banyak orang yang nggak mengerti cara membedakan yang mana madu murni dan palsu. Keluarga dan teman-temannya termasuk penyantap madu secara rutin. Karena ketakutannya terhadap penyakit yang bisa ditimbulkan oleh madu palsu itulah, akhirnya Nacita berinisiatif membuat alat tersebut. Tentunya dengan dibantu oleh seorang guru di sekolahnya.
Keren banget, ya! Pas gue umur segitu, boro-boro bisa kepikiran bikin alat apa kek gitu. Bisanya malah bikin masalah. T.T
Nacita bukanlah satu-satunya siswi berprestasi yang mengikuti lomba FLS 2019 ini. Ada banyak lagi peserta yang unjuk karya, bahkan teman-teman berkebutuhan khusus pun nggak mau kalah. Gue sempat mampir melihat-lihat sekilas hasil karyanya. Bagus-bagus banget! Terbukti ya keterbatasan fisik bukanlah penghalang.
----------------------------------
Itu dia kunjungan singkat gue ke FLS 2019. Sebagai pengunjung, gue pun sangat merasakan manfaat dari acara ini dan gue pun yakin pasti juga membawa manfaat dan dampak positive kepada generasi muda, khususnya siswa-siswi SMA di seluruh Indonesia.
Semoga di tahun-tahun selanjutnya bakal diadakan lagi FLS IV dan lebih besar gaungnya. Karena beberapa peserta ada yang mengaku bahwa sekolahnya nggak mengetahui informasi lomba ini.
Jika kalian punya adik atau bahkan anak dan keponakan yang sudah SMA, jangan lupa untuk ikutan lomba ini di acara FLS tahun depan ya. Salam Literasi!
2 Comments
Bagus banget eventnya, semoga ke depannya semakin banyak event-event serupa agar generasi penerus bangsa punya banyak sarana dan prasarana untuk berkembang :D
ReplyDeleteSeru banget tuh eventnya.
ReplyDeleteJadi pengen ikutan.
Salut ama Nacita, masih SMP udah bikin karya kayak gitu. Keren...
Please notice: Subscribe to my blog before you leave a comment. Any active link on comment will be automatically deleted. Thank you for reading!